Faktor utama
dalam pembentukan pribadi manusia adalah pendidikan. Dengan sistem pendidikan
yang baik, diharapkan muncul generasi penerus bangsa berkualitas yang mampu
berpikir secara sistematis, bermoral lurus, serta dapat menempatkan sisi baik
dan buruknya kehidupan. Sayangnya, tidak semua warga di Indonesia mendapatkan
pendidikan formal berjenjang dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Dewasa
ini, faktor ekonomi menjadi penyebab terbesar seseorang tidak mendapatkan
pendidikan formal tersebut, saya termasuk di antaranya.
Riwayat pendidikan dasar saya dimulai pada tahun
1999 di Kota Bandung. Menghabiskan waktu dengan bermain, hanya saya rasakan
hingga duduk di bangku kelas 2. Saat itu, ayah saya mencari peruntungan ke
Pulau Batam meninggalkan ibu dan ketiga anaknya yang masih sekolah.
Sejak itu, masa bermain saya digantikan dengan membantu
ibu menjual gorengan, menjadi pencuci piring di tempat pemancingan, dan
pekerjaan lainnya yang penting menghasilkan uang guna membantu perekonomian
keluarga.
Semua
aktivitas tersebut terhenti ketika saya duduk di kelas 5. Nenek saya (dari
pihak ibu) meninggal. Ibu yang paling dituakan, akhirnya pulang ke Semarang
untuk menemani kakek ditemani saya (kedua kakak saya tetap di Bandung bersama
paman). Pendidikan dasar saya diselesaikan di Semarang.
Ayah akhirnya pulang dan mengajak ibu serta saya
untuk pergi ke kampung halamannya di Purbalingga. Pendidikan tingkat SMP saya
dimulai di kota ini pada tahun 2005.
(Foto : Kelas 9C SMP Negeri 3 Purbalingga Tahun 2008)
Ekonomi keluarga kami pun tak kunjung membaik. Hingga pada puncaknya, kakak saya yang kedua mengalami depresi kejiwaan yang menyita perhatian semua anggota keluarga kami. Saat itu, saya sudah kelas 9 dan kakak pertama juga tidak bisa membantu lebih karena sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri.
(Foto: Pernikahan kakak perempuan yang pertama)
Keadaan seperti itulah yang akhirnya membuat
saya mengambil keputusan, untuk tidak melanjutkan ke tingkat SMA dan memilih
bekerja guna meringankan perekonomian keluarga. Menjadi operator warnet dan “juru
ketik” menjadi profesi saya saat itu. Paman saya
akhirnya mengetahui bahwa saya tidak melanjutkan pendidikan, dan mengambil
keputusan untuk menyekolahkan saya kembali. Saya kemudian mengambil prodi
akuntasi di SMK Ma’arif NU Kemangkon. Keputusan mendaftar di sekolah swasta diambil
karena batas pendaftaran di sekolah negeri sudah terlambat. Profesi operator
warnet saya tingalkan, tetapi tidak untuk juru ketik. Saya masih dapat
penghasilan tambahan dari profesi ini untuk menambah pemasukan.
Kuliah di
universitas bukanlah mimpi saya setelah lulus di SMK. Fokus utama saya setelah
lulus, hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Saat itu, kepala sekolah SMK saya
menyarankan agar saya ikut program SANLAT BPUN (Pesantren Kilat Bimbingan Pasca
Ujian Nasional) yang diselenggarakan oleh Yayasan Mata Air Nahdlatul Ulama.
Sebuah program dimana peserta ditempatkan di pondok pesantren selama 40 hari
untuk memperdalam ilmu agama dan materi untuk lolos SNMPTN jalur tulis serta membantu
pengajuan beasiswa.
Hingga tak terasa setelah melewati berbagai proses yang
tidak instan, akhirnya saya terdaftar sebagai Mahasiswa Bidik Misi di Jurusan
Sastra Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman tahun 2012.
(Bersambung.... )
Komentar
Posting Komentar